Selasa, 13 Juni 2017

Dehumanisasi Komoditas Karya Seni


Seni merupakan hasil kebudayaan yang mulai berkembang sejak awal peradaban manusia yaitu zaman berburu, terbukti dengan ditemukannya simbol-simbol sederhana pada dinding gua di berbagai wilayah Indonesia yang berasal dari lebih 40.000 tahun lalu. Temuan ini adalah bukti kemampuan manusia pada masa lalu dalam mengungkapkan ekspresinya, juga bentuk perwakilan untuk mengabadikan suatu kegiatan dalam bentuk “coretan”.

Aristoteles (384-322 SM) menjelaskan bahwa mengekspresikan sesuatu lewat seni berfungsi untuk menyalurkan afek psikologis individu sebagai media kontrol diri sehingga manusia dapat mengendalikan dampak lanjutan dari tekanan dalam diri. Bagi penikmat seni pun Arthur Schopenhauer (1788-1860) berpendapat bahwa seni membebaskan diri dari beban individualitas dengan memberikan kesan pembebasan, sebab memang merupakan tugas seni menjadi cermin jernih untuk menampakan idea yang hakiki dalam kehidupan ini.

Menurut Soedarso Sp (1990), seni lukis merupakan cabang seni yang cara pengungkapannya diwujudkan melalui karya dua dimensional dimana unsur-unsur pokok dalam karya tersebut ialah garis dan warna. Berdasarkan penciptaannya, seni lukis tergolong seni murni sebab seni lukis tercipta dengan ekspresi subjektif penciptanya. Bagi Benedetto Croce, tidak ada yang buruk dalam seni sejauh itu memang seni sebab seni adalah ekspresi yang berhasil, terlepas dari perdebatan mengenai estetika; yang bagi Immanuel Kant sama dengan penilaian selera.

Berkembangnya peradaban manusia dari masyarakat nomaden hingga masyarakat madani yang diiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut memunculkan problematika baru dalam kehidupan kemasyarakatan, hal itu juga berdampak pada dunia seni.

Dalam dunia seni lukis, karya yang merupakan ekspresi murni tersebut juga telah bertransformasi menjadi barang dengan potensi komersial yang pada pendistribusiannya seringkali kehilangan eksistensi substansial seni yaitu sebagai ekspresi murni dan cermin jernih dari idea. Oleh Karl Marx, transformasi dari hubungan yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan menjadi hubungan yang sifatnya komersial ini disebut komodifikasi. Adanya kenyataan komodifikasi seni murni yang kehilangan esensi ini diuraikan lebih lengkap melalui makna komodifikasi menurut Chris Barker, yaitu proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas dan tanda dijadikan sebagai komoditas, di mana komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar.

Karya seni yang memiliki nilai komersial bermain di pasar bisnis dengan mengelola siklus peredarannya, namun tetap memiliki perbedaan mekanisme pasar dengan benda komersial pada umumnya, sebab karya seni bukan kebutuhan umum dan tidak semua orang memiliki ketertarikan khusus pada bidang seni. Selain pencipta karya seni, penyandang dana, kurator, kolektor, hingga balai lelang terlibat pada perputaran pasar bisnis seni lukis ini.

Kolektor seni menjadi banyak terlibat dalam pasar bisnis seni lukis, sebab sebagai seseorang yang pada dasarnya mengumpulkan lukisan untuk dinikmati keindahannya, yang kemudian dikoleksi dan menjadi suatu hobi telah banyak bertransformasi menjadi pekerjaan. Maka dalam pasar seni, kolektor lukisan bukan lagi hanya sebagai konsumen, namun sekaligus merangkap menjadi distributor sebab melihat adanya peluang untuk menjadikan benda seni sebagai saham dalam bursa seni.

Seorang kolektor seni pernah menyatakan keluhannya tentang seniman yang produktif, juga mengatakan sedang memburu lukisan seorang seniman sebab seniman tersebut sudah tua dan sakit-sakitan. Dari dua contoh pernyataan kolektor tersebut menyiratkan adanya pergeseran sifat dari kolekter sebagai penikmat karya seni dan mengumpulkan karya seni sebagai hobi menjadi hanya mempertimbangkan nilai karya seni berdasarkan potensi komersialnya.

Kaitan produktifitas seniman dengan potensi komersial membalik logika pasar mengenai sistem kalkulabilitas yang mencari keuntungan dengan menekankan kuantitas dibanding kualitas; harga murah dengan jumlah banyak semakin mendapatkan keuntungan. Logika dalam komoditas lukisan adalah semakin sedikit kuantitas (produksi lukisan oleh seniman), semakin tinggi kualitas sehingga nilai jual akan semakin tinggi.

Logika yang sama mengiringi motif kolektor dalam memburu karya pelukis yang sudah tua dan sakit-sakitan, benda seni menjadi seolah berkualitas lebih tinggi ketika waktu secara pasti akan membuat seorang seniman tidak mungkin berproduksi lagi (pelukis telah meninggal), dan benda seni yang pernah diproduksi seniman menjadi saham yang laku di pasar seni terutama ketika benda seni yang telah terlepas dari penciptanya tersebut mampu dikondisikan; menunggu hingga dengan sendirinya karya seni memiliki nilai tambah berupa ilusi tentang nilai historis dan legendaris, terutama jika mampu menonjolkan track record kehidupan senimannya yang telah meninggal.

Padahal jika melirik kembali esensi seni yang merupakan ekspresi murni, kuantitas bukan faktor yang mempengaruhi kegagalan pengungkapan ekspresi seni. Dan dalam fenomena tersebut, seseorang yang menamai diri sebagai kolektor seni selain mengalami pergeseran sifat, bisa jadi tidak memiliki pengetahuan tentang seni lukis sama sekali.

Pergeseran sifat kolektor seni memang tidak terlepas dari pergeseran fungsi seni yang pada mulanya sebagai pembebasan menjadi sekadar benda komersial. Bukan hanya kolektor seni, pergeseran fungsi seni otomatis turut menggeser peran sosial individu-individu lain yang terlibat dalam dunia seni, bisa jadi termasuk pelukis yang menciptakan karya semata-mata sebagai produksi benda komersial, bukan ekspresi murni.

Dalam mengamati fenomena pergeseran nilai yang terjadi pada sistem komoditas karya seni oleh individu yang menamai dirinya kolektor seni ini, dapat disimpulkan bahwa potensi komersial dari seni murni bukan hanya mengubah pertimbangan sudut pandang dalam menilai suatu karya seni, namun juga terjadi dehumanisasi atau penghilangan harkat manusia (dalam hal ini pelukis) oleh kolektor. Dehumanisasi ini terjadi karena kolektor lebih menganut logika bisnis, perbedaan dehumanisasi dalam pasar seni dengan pasar lain adalah kenyataan bahwa kolektor yang menghilangkan substansi seni bahkan harkat pelukis justru memanfaatkan nama dan riwayat pelukis untuk mendongkrak nilai komersial.

“The irrationality of rationality” – Karl Marx
  

Daftar Pustaka :
Hauskeller, Michael, 2015, Seni - Apa itu?: Posisi Estetika dari Platon sampai Danto,
Yogyakarta: PT Kanisius
Smith, David & Phil Evans, 2004, Das Kapital untuk Pemula, Yogyakarta: Resist
Book
Soesandireja. “Lukisan Gua Prasejarah, dari Catatan Harian Hingga Bukti
Eksistensi”. 28 Juli 2015.
http://www.wacana.co/2015/07/lukisan-gua-prasejarah/


oleh Ivana Kurniawati dan Stefanus Andri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar