Seni
merupakan hasil kebudayaan yang mulai berkembang sejak awal peradaban manusia
yaitu zaman berburu, terbukti dengan ditemukannya simbol-simbol sederhana pada
dinding gua di berbagai wilayah Indonesia yang berasal dari lebih 40.000 tahun
lalu. Temuan ini adalah bukti kemampuan manusia pada masa lalu dalam
mengungkapkan ekspresinya, juga bentuk perwakilan untuk mengabadikan suatu
kegiatan dalam bentuk “coretan”.
Aristoteles
(384-322 SM) menjelaskan bahwa mengekspresikan sesuatu lewat seni berfungsi
untuk menyalurkan afek psikologis individu sebagai media kontrol diri sehingga
manusia dapat mengendalikan dampak lanjutan dari tekanan dalam diri. Bagi penikmat
seni pun Arthur Schopenhauer (1788-1860) berpendapat bahwa seni membebaskan
diri dari beban individualitas dengan memberikan kesan pembebasan, sebab memang
merupakan tugas seni menjadi cermin jernih untuk menampakan idea yang hakiki
dalam kehidupan ini.
Menurut
Soedarso Sp (1990), seni lukis merupakan cabang seni yang cara pengungkapannya
diwujudkan melalui karya dua dimensional dimana unsur-unsur pokok dalam karya
tersebut ialah garis dan warna. Berdasarkan penciptaannya, seni lukis tergolong
seni murni sebab seni lukis tercipta dengan ekspresi subjektif penciptanya. Bagi
Benedetto Croce, tidak ada yang buruk dalam seni sejauh itu memang seni sebab
seni adalah ekspresi yang berhasil, terlepas dari perdebatan mengenai estetika;
yang bagi Immanuel Kant sama dengan penilaian selera.
Berkembangnya
peradaban manusia dari masyarakat nomaden hingga masyarakat madani yang
diiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut memunculkan
problematika baru dalam kehidupan kemasyarakatan, hal itu juga berdampak pada dunia
seni.
Dalam
dunia seni lukis, karya yang merupakan ekspresi murni tersebut juga telah bertransformasi
menjadi barang dengan potensi komersial yang pada pendistribusiannya seringkali
kehilangan eksistensi substansial seni yaitu sebagai ekspresi murni dan cermin
jernih dari idea. Oleh Karl Marx, transformasi dari hubungan yang awalnya
terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan menjadi hubungan yang
sifatnya komersial ini disebut komodifikasi. Adanya kenyataan komodifikasi seni
murni yang kehilangan esensi ini diuraikan lebih lengkap melalui makna komodifikasi
menurut Chris Barker, yaitu proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di
mana objek, kualitas dan tanda dijadikan sebagai komoditas, di mana komoditas
adalah sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar.
Karya
seni yang memiliki nilai komersial bermain di pasar bisnis dengan mengelola siklus
peredarannya, namun tetap memiliki perbedaan mekanisme pasar dengan benda
komersial pada umumnya, sebab karya seni bukan kebutuhan umum dan tidak semua orang
memiliki ketertarikan khusus pada bidang seni. Selain pencipta karya seni,
penyandang dana, kurator, kolektor, hingga balai lelang terlibat pada
perputaran pasar bisnis seni lukis ini.
Kolektor
seni menjadi banyak terlibat dalam pasar bisnis seni lukis, sebab sebagai seseorang
yang pada dasarnya mengumpulkan lukisan untuk dinikmati keindahannya, yang
kemudian dikoleksi dan menjadi suatu hobi telah banyak bertransformasi menjadi
pekerjaan. Maka dalam pasar seni, kolektor lukisan bukan lagi hanya sebagai
konsumen, namun sekaligus merangkap menjadi distributor sebab melihat adanya
peluang untuk menjadikan benda seni sebagai saham dalam bursa seni.
Seorang
kolektor seni pernah menyatakan keluhannya tentang seniman yang produktif, juga
mengatakan sedang memburu lukisan seorang seniman sebab seniman tersebut sudah
tua dan sakit-sakitan. Dari dua contoh pernyataan kolektor tersebut menyiratkan
adanya pergeseran sifat dari kolekter sebagai penikmat karya seni dan
mengumpulkan karya seni sebagai hobi menjadi hanya mempertimbangkan nilai karya
seni berdasarkan potensi komersialnya.
Kaitan
produktifitas seniman dengan potensi komersial membalik logika pasar mengenai
sistem kalkulabilitas yang mencari keuntungan dengan menekankan kuantitas dibanding
kualitas; harga murah dengan jumlah banyak semakin mendapatkan keuntungan. Logika
dalam komoditas lukisan adalah semakin sedikit kuantitas (produksi lukisan oleh
seniman), semakin tinggi kualitas sehingga nilai jual akan semakin tinggi.
Logika
yang sama mengiringi motif kolektor dalam memburu karya pelukis yang sudah tua
dan sakit-sakitan, benda seni menjadi seolah berkualitas lebih tinggi ketika
waktu secara pasti akan membuat seorang seniman tidak mungkin berproduksi lagi
(pelukis telah meninggal), dan benda seni yang pernah diproduksi seniman
menjadi saham yang laku di pasar seni terutama ketika benda seni yang telah
terlepas dari penciptanya tersebut mampu dikondisikan; menunggu hingga dengan
sendirinya karya seni memiliki nilai tambah berupa ilusi tentang nilai historis
dan legendaris, terutama jika mampu menonjolkan track record kehidupan senimannya yang telah meninggal.
Padahal
jika melirik kembali esensi seni yang merupakan ekspresi murni, kuantitas bukan
faktor yang mempengaruhi kegagalan pengungkapan ekspresi seni. Dan dalam
fenomena tersebut, seseorang yang menamai diri sebagai kolektor seni selain
mengalami pergeseran sifat, bisa jadi tidak memiliki pengetahuan tentang seni
lukis sama sekali.
Pergeseran
sifat kolektor seni memang tidak terlepas dari pergeseran fungsi seni yang pada
mulanya sebagai pembebasan menjadi sekadar benda komersial. Bukan hanya
kolektor seni, pergeseran fungsi seni otomatis turut menggeser peran sosial
individu-individu lain yang terlibat dalam dunia seni, bisa jadi termasuk
pelukis yang menciptakan karya semata-mata sebagai produksi benda komersial,
bukan ekspresi murni.
Dalam
mengamati fenomena pergeseran nilai yang terjadi pada sistem komoditas karya
seni oleh individu yang menamai dirinya kolektor seni ini, dapat disimpulkan
bahwa potensi komersial dari seni murni bukan hanya mengubah pertimbangan sudut
pandang dalam menilai suatu karya seni, namun juga terjadi dehumanisasi atau
penghilangan harkat manusia (dalam hal ini pelukis) oleh kolektor. Dehumanisasi
ini terjadi karena kolektor lebih menganut logika bisnis, perbedaan
dehumanisasi dalam pasar seni dengan pasar lain adalah kenyataan bahwa kolektor
yang menghilangkan substansi seni bahkan harkat pelukis justru memanfaatkan
nama dan riwayat pelukis untuk mendongkrak nilai komersial.
“The irrationality of rationality” – Karl Marx
Daftar Pustaka :
Hauskeller,
Michael, 2015, Seni - Apa itu?: Posisi
Estetika dari Platon sampai Danto,
Yogyakarta: PT Kanisius
Smith,
David & Phil Evans, 2004, Das Kapital
untuk Pemula, Yogyakarta: Resist
Book
Soesandireja.
“Lukisan Gua Prasejarah, dari Catatan Harian
Hingga Bukti
Eksistensi”. 28 Juli 2015.
http://www.wacana.co/2015/07/lukisan-gua-prasejarah/
oleh Ivana Kurniawati dan Stefanus Andri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar