Kamis, 12 Januari 2017

Review: 1984



Penulis: George Orwell
Penerjemah: Landung Simatupang
Penerbit: Bentang

1984 ditulis pada tahun 1949 seolah penulis sedang meramalkan kondisi Inggris pada tahun tersebut. Membaca buku haruslah peka untuk mencari makna, sebagaimana pun setting memberikan waktu atau nama tempat atau apapun seperti Inggris dan 1984, novel ini mampu melepas diri dari teks hingga pandangan yang disampaikan dapat menjadi kacamata baru untuk melihat tidak hanya Inggris atau tahun 1984. Jadi maksud saya, yang tidak tertarik dengan Inggris atau tahun 1984 tidak perlu tidak tertarik dengan buku ini.

Melalui sudut pandang tokoh utama, pembaca akan diperlihatkan bagaimana kekuasaan otoriter bekerja dan bertahan dengan memanfaatkan keterbatasan berpikir manusia. Sebagaimana saya percaya nasib masyarakat cenderung dibentuk oleh sistem kekuasaan dominan, buku ini menceritakan proses tersebut secara spesifik.

"Dan, apa yang menakutkan bukanlah bahwa mereka akan membunuhmu jika berpikir lain, melainkan bahwa mungkin mereka memang benar. Sebab, bagaimanapun halnya, bagaimana kita tahu dua ditambah dua sama dengan empat? Atau bahwa gaya tarik bumi sungguh-sungguh berjalan? Atau bahwa masa silam tidak terubah? Jika masa silam dan dunia abadi hanya ada dalam pikiran dan jika pikiran itu sendiri dapat dikendalikan-terus bagaimana?"

Begitulah pikir Winston Smith, seorang anggota partai yang gelisah karena munculnya kesadarannya tentang kejamnya sistem kekuasaan tanpa mampu mencari kebenaran atas kegelisahan tersebut. Winston bekerja di Departemen Kebenaran yang bertugas untuk menghapus dan memproduksi kebenaran (kejadian yang diakui benar terjadi) sesuai kebutuhan partai. Misalnya tentang masa sebelum Revolusi yang selalu digambarkan sebagai suatu keadaan yang mengerikan sehingga masyarakat tidak punya perbandingan untuk menyadari bahwa saat ini mereka lebih menderita, partai selalu menjadi pahwalannya. "Sejarah adalah milik pemenang" akan mengendalikan masyarakat dari mana mereka harus berpikir.

Kamus selalu diproduksi ulang, dalam penggambaran ini pembaca akan semakin memahami bagaimana kata dapat mempersempit atau memperluas lingkup pemikiran. Misalnya dalam lawan kata, "baik", tak perlu ada kata "jelek", cukup "tak baik". Ada pula kata-kata yang sengaja didefinisikan secara ketat dan kaku seperti "bebas" hanya untuk kalimat seperti "anjing itu bebas dari kutu", tak ada "manusia bebas" dalam arti "merdeka", dan segala kata dirancang oleh ahli bahasa sesuai kebutuhan partai. Pengendalian realitas melalui pengendalian pikiran. 

Pengendalian realitas juga dibuat dengan istilah Pikir Ganda, daya untuk memuat dua keyakinan yang bertentangan dalam pikiran dan menerima keduanya, memasangkan pada manusia "intelektual partai"  hingga manusia tersebut tak sepenuhnya sadar telah memalsukan sesuatu dan merasa bersalah.

"Mungkin saja, untuk sekian ribu proletar Lotre itulah alasan pokok, kalau bukan satu-satunya, untuk bertahan hidup. Itulah kegembiraan mereka, kebodohan mereka, obat penghilang rasa sakit mereka, perangsang intelektual mereka. Sepanjang menyangkut Lontre, orang yang boleh dikata tidak bisa baca-tulis pun agaknya menjadi mampu membuat hitungan yang rumit dan merangkai-rangkai ingatan. Ada sekian banyak orang yang nafkahnya didapat hanya dengan berjualan rumus, ramalan dan jimat keberuntungan."

Rakyat di luar partai yang disebut Kaum Proletar sebanyak 85% dibiarkan sibuk dengan dunia mereka yang telah berantakan dan tetap bodoh untuk mempertanyakan hak mereka, sedangkan anggota partailah yang terikat dengan banyak aturan dan pengawasan. Kehidupan yang selalu diawasi, ada alat bernama teleskrin termasuk di kamar mandi. Teleskrin seperti cctv namun mengawasi secara interaktif, bahkan mampu mendeteksi gestur dan ekspresi, agar tak ada gerak-gerik mencurigakan yang dapat membahayakan partai. Jika ada yang menunjukan tanda-tanda mencurigakan, orang tersebut akan ditangkap, disiksa, dan dihilangkan. "Diuapkan".

Saya berbohong jika mengatakan buku ini tidak mengingatkan saya pada sebuah rezim.

"Akan tetapi, jika ada harapan, itu berada di tangan kaum prol. Ini harus jadi peganganmu. Kalau dinyatakan dalam kalimat, kedengarannya masuk akal; tetapi begitu kau memandang manusia-manusia yang memapasmu di trotoar, hal itu terasa sebagai semacam kepercayaan buta."

Ulasan di atas tidaklah cukup untuk menjelaskan buku padat makna ini, semoga bermanfaat dan tertarik untuk mempelajarinya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar