Minggu, 12 Februari 2017

Bermain Bola Bekel


Baru tadi pagi aku berkenalan dengan dua anak itu, kelas 1 dan 3 SD. Aku datang, mencoba berbaur ketika mereka sedang asik bermain bola bekel. Sebenarnya bukan "mereka", salah satu saja, yang 3 SD, sedang yang 1 SD hanya melihat di sebelahnya. Kaku betul tanganku, tak bisa bermain bekel, jadi minta diajari, pura-puranya begitu - aku hanya ingin bermain dengan mereka.

Yang kelas 1 tidak bermain, katanya tidak bisa. Matanya, adalah mataku yang dulu, perempuan kecil yang ragu, tak percaya pada diri sendiri, oranglain, barangkali pernah gagal dan kena olok. Anak kecil biasanya memang tidak mengerti, dan tidak terpikir untuk peduli apa itu harga diri, tapi aku dan anak itu barangkali lain lagi.

Aku suka juga mata itu, menyambar cahaya dan senyum malu-malu, minta dirayu. Bagaimanapun, dia tetap anak kecil, anak kecil lebih dekat dengan ketulusan, masih ada harapan dalam hatinya yang lemah dan luka.

Aku coba perlakukan dia, seperti aku ingin diperlakukan, dulu. 

Ribuan detik aku merayu dan menunggu, dia masih ragu. "Tidak bisa" katanya, "belum dicoba" kataku. Sesekali aku diliriknya seperti minta restu, kemudian matanya kembali lari-lari mencari pegangan seolah-olah dia akan jatuh, dan aku meyakinkan lagi, kemudian matanya berharap, kemudian matanya resah, melihat aku dan mencari-cari sesuatu, lagi dan terus begitu.

Aku tidak menyerah, karena aku percaya kemampuanku merasakan pada mata itu, aku kenal betul, mataku yang dulu. Dan dia mulai mencoba bermain bekel, gagal, tapi dia mencoba lagi, mencoba terus, ya, dia telah berhasil

melawan dirinya sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar