Rabu, 26 April 2017

Isa dan Rumah Langit

Minggu sore selalu menyiapkan kisah manis dan romantis. Aku menunggu adik-adik datang dengan sisa tawa mereka yang ceria selepas bermain, atau cemberut wajah mereka  selepas kesal oleh perkara-perkara sederhana, atau tubuh lelah mereka selepas berdagang yang mungkin tidak laku. Apa yang terlihat dari anak kecil selalu jujur, murni, dan tidak perlu disalahkan. Aku menunggu mereka menghampiriku, mereka manis, suka memelukku, merebutkan perhatian dan minta pangku, sesekali berebutan minta dibacakan buku. 

Aku mencintai buku, dan senang ketika mampu membangun perpustakaan bagi orang lain. Bagiku, membuat perpustakaan adalah membangun jembatan, antara individu dan ilmu, antara masyarakat dan kesadaran kolektif, antara bangsa dan kemajuan peradaban. Meski hanya perpustakaan jalanan dengan buku terbatas beralas banner bekas. Aku juga mencintai kawan-kawan yang membangun jembatan bersama. Mereka bukan orang yang hanya suka berdebat agar terlihat pandai. Mereka sederhana dan ingin ilmu yang mereka miliki dapat bermanfaat untuk orang lain. Aku mencintai orang-orang sederhana, mereka yang tak butuh pengakuan untuk terus berbuat banyak. Mereka yang menguasai diri mereka sendiri adalah mereka yang menguasai kehidupan.

Nah, kini akan kuceritakan padamu satu kisah minggu sore.

Laki-laki itu datang, kira-kira seusia denganku, dua puluh. Rambut dan penampilannya rapi, mengenakan pakaian muslim berwarna krem. Kupersilakan ia melihat buku karena gayanya yang ragu dan malu-malu. Kata-kataku hanya dibalas dengan senyum, lalu ia duduk dan mulai melihat, mencari-cari, mengambil dan membaca buku dongeng anak-anak. Aku membaca bersama adik-adik, ia membaca bersama dirinya sendiri.

Seperti biasa seusai belajar aku bermain bersama adik-adik, menghilangkan kejenuhan mereka, aku sendiri mengisi tenaga dengan menjadi anak kecil. Bermain Kotak Pos, lari-lari, bermain apa saja sampai lelah fisik. Aku percaya, selalu ada anak kecil dalam tubuh kita yang semakin menua, kita merindukan hal-hal yang tak butuh pertimbangan namun tak pernah salah, tak bertentangan dengan nilai-nilai atau pandangan orang yang semakin salah, hanya berekspresi dan saling menularkan bahagia. Kebahagiaan adalah sesuatu yang selalu sanggup diciptakan anak-anak kecil dengan mudah dan murah. Laki-laki itu masih di sana.

Aku duduk kembali, mengamati orang-orang yang datang, mengamati senja yang pulang sebab datangnya malam. Laki-laki itu menunjukan sesuatu dari handphonenya pada kawanku, lalu padaku, ia berpamitan lewat huruf yang ia ketikan. Ramah dan tak mampu bicara. Ia tuna wicara. 

Aku mengambil handphoneku dari kantong, mengetik juga, menanyakan namanya, berusaha menjadi penyambut kawan yang baik. Ia membentuk huruf lewat bahasa tangannya, aku menebaknya dan ia membaca bibirku, lalu ia menyodorkan tangannya, pertanda meminjam handphoneku, ia mengetik memperjelas. Namanya Isa. Maka kuperkenalkan juga namaku dan nama kawan-kawan di sampingku. 

Ia mengetik lagi. 
"Masya Allah (Maha Suci Allah)
Anda ramah sekali untuk melayani orang lain.
Saya ingin pulang malam ini." 

Ia berpamitan, memberikan salam dengan kedua telapak tangan yang rapat dan menunduk sedikit, memberi hormat, sambil tersenyum ramah, ia mengenakan tasnya yang selempang, tas yang baru aku sadari terbuat jadi sepotong baju. Ia pergi.

Adik-adik bertanya padaku, "laki-laki itu kenapa?". Mereka heran dan mempertanyakan apa yang mereka lihat dari matanya yang bening dan lugu. Aku memberikan pengertian, bahwa laki-laki yang mereka lihat barusan tuna wicara, artinya tidak mampu berbicara dan mendengar. Aku katakan pada mereka bahwa kita harus menyayangi orang-orang seperti itu. Mereka mengangguk mengerti dan tidak mempertanyakan lagi. Aku bersyukur, bisa berbagi pengertian dan ajaran kasih pada mereka sekali lagi, kecil, namun semoga bisa berarti.

Aku mengingat apa yang laki-laki itu tulis, "Masya Allah" dan menerjemahkannya dalam tanda kurung, lalu menunjukan padaku sambil tersenyum ramah. Wajahku tidak muslim, barangkali ia hanya khawatir aku tak mengerti sehingga merasa perlu menerjemahkan. Aku mengingat umat, masyarakat yang terpecah belah dan menjadi jahat atas nama agama, yang berdiri di garis depan kepentingan tertentu yang mungkin tak mereka pahami. Aku mengingat kawanku yang tak memeluk agama, yang tidak pernah menyinggung atau mengambil hak orang lain, ia juga merawat kucing meski harus menyisihkan uang makannya. 

Aku mencintai mereka yang dengan atau tanpa sadar menyayangi sesama, segala hal mungkin berbeda namun yang tetap sama dan pasti: menjadi manusia. Aku mencintai bagaimana ia menjelaskan, aku mencintai bagaimana seseorang menjadi dirinya sendiri juga mampu berbuat baik pada siapa saja. Aku mencintai orang-orang terhormat.

Laki-laki itu pergi, perlahan, menghilang di keramaian. Barangkali ia ke tempat lain untuk membagikan lagi perihal kehidupan seperti yang ia berikan padaku, kawan-kawanku, dan adik-adikku di taman kota. Atau singgah ke rumah ibadah. Sebab jika ia pulang, rumahnya adalah langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar