Senin, 03 April 2017

Mereka yang Tak Bisa Kau Tolak Kemarahannya

Aku pernah berada di kapal layar besar, terombang-ambing di tengah samudera. Cuaca buruk, gelombang besar, ombak ekstrim menyirami seluruh kapal. Aku berlari ke sebuah ruangan bersama orang-orang yang sempat berlari ke ruangan yang sama. Dari pintu yang tidak kututup rapat aku mengintip, bagaimana manusia menjerit ketika ombak menelan tubuh mereka.

Alam ini besar dalam artian sesungguhnya, mereka maha dasyat dan tak bisa kau tolak kemarahannya. Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku, mengingat permasalahan dalam hidup sendiri. Sungguh tiada arti permasalahan manusia ketika merawat dan menjaga bumi yang kita huni dianggap hanya milik para aktivis saja.

Aku bukan aktivis, tapi bencana alam tak mengenal siapa kita.

Di saat yang sama, ada nyanyian sakral, meneror sekaligus menumbuhkan rasa segan, nyanyian itu bergema di rasa dan pikirku yang sudah melebur

"ibu bumi wis maringi.. ibu bumi dilarani.. ibu bumi kang ngadili.."

Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku, lagi. Dengan perasaan haru aku teringat petani-petaniku, aku teringat nasi yang menjadi bagian dari tubuhku, aku teringat keiklasan mereka merawat bumi, aku teringat perjuangan mereka menjaga bumi, aku teringat tangis kekalahan mereka, esoknya mereka bangkit lagi, kalah lagi.

Bangkit lagi.

Aku teringat bagaimana mereka diperlakukan tidak adil

dan aku merindukan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar