Kamis, 11 Mei 2017

Rumah Masa Kecil

2000-2007

Halaman rumahku luas untuk bermain kelereng dan bulutangkis yang koknya terkadang menyangkut di atapnya yang seng. Ayam-ayam suka masuk ke dapur, kami tak memelihara ayam, tapi rumahku tak berpagar, begitu juga rumah tetanggaku. Dari jendela kamar ibu, aku suka mengintip jendela rumah temanku dan menebak-nebak adakah mereka di rumah. Kami sering bermain bersama, juga dalam mimpi tidurku, sebab bermain bersama adalah hal paling mewah pada masanya. Anak-anak seusia kami tak memiliki handphone, aku beberapa kali menelfon sahabatku lewat telfon rumah, menelfon adalah hal istimewa dan karenanya kini aku kenang. Aku suka menghafalkan 5 digit nomor telfon rumah sahabat-sahabatku. 

Aku ingat tetangga sebelah rumah penjual koran yang baik hati, tetangga sebrang penjual nasi pecel dan warung kopi, sebrang rumah persis tanah kosong yang berumput dan banyak sapi. Selepas malam tahun baru aku mempertanyakan dalam hati, apakah sapi-sapi itu terkejut jika mendengarkan letusan kembang api? bagaimana jika kembang api itu menyasar pada tubuh mereka yang lamban? pasti kasihan sekali.

Dua kali waktu sore guruku datang untuk mengajari aku dan saudaraku bahasa Inggris. Ketika menjelang magrib langit hitam turun dan jalanan mulai gelap karena lampu jalan yang saling berjauhan; nyaris hanya ada di simpangan jalan dan kami mengandalkan lampu teras, seperti biasa guruku hendak pulang mengenakan sepeda ontel yang diparkir sembarang, tapi kami terkejut (dan untungnya) melihat ular besar di depan rumah. Aku ketakutan sampai ia memukulnya dengan batu. Guruku seorang yang sederhana, kurus dan pemberani, beberapa tahun lalu tak sengaja aku bertemu dan ia tetap baik hati.

Tiap 2 tahun sekali ada pasar malam, perayaan ulang tahun kabupaten. Hanya di saat-saat khusus dapat ditemui hal-hal tertentu seperti... kelinci. Sekali waktu itu kami membeli kelinci, aku menyukai karena alasan yang umum, menggemaskan. Meski untuk menggendong, bermain, aku tak benar-benar berani. Aku hanya suka memberi makan dan memperhatikan bagaimana mereka tidur. Pada malam hari, kami menaruhnya dalam kardus terbuka. Aku membayangkan kelinci itu kedinginan, dan menutupi badannya dengan sehelai kol. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana merawat mereka. Beberapa hari kemudian, kelinci ini mati. Aku bersedih, kami menguburkannya di samping rumah, aku dan saudaraku menaburi bunga. Dan kami tak pernah memelihara kelinci lagi. Hanya ikan, ayahku gemar memelihara ikan louhan pada saat aku kecil, sementara aku dan saudaraku jadi gemar mencari cacing di bawah kolong rumah untuk memberi makan ikan-ikan ayah.

Halaman rumahku memiliki pohon mangga dan pohon rambutan, kami suka makan buah dari pohon kami sendiri, dan kesal ketika anak-anak mencuri buah-buah kami. Beberapa kali aku coba takut-takuti mereka dari jendela dengan memperdengarkan suara-suara, yang aku harap membuat mereka sadar bahwa "pemilik rumah mengawasi!" Hahaha.

Rumah masa kecil, rumah kayu yang kecil dan memiliki halaman untuk bermain, dan kuburan kelinciku, ulat untuk makan ikan-ikan ayahku, pohon-pohon buah, ayam-ayam tetanggaku. Rumah masa kecilku, kini jika aku melewati rumah itu tinggal bangunan beton, pucat dan berpagar besi, seakan mati, meski jalanan depan sudah terang oleh lampu-lampu jalan dan hiruk pikuk kendaraan. Anehnya, dari sana lahir cerita-cerita hantu oleh penghuni baru, tentang perempuan berambut panjang yang pada tengah malam suka menyisir rambutnya di kaca jendela teras dan tentang anak-anak mereka yang sering menangis, mengaku dihantui.

Mungkin mereka tak punya tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar