Jumat, 25 Januari 2019

Review: Memoar Seorang Dokter Perempuan



Penulis: Nawal El Saadawi
Penerjemah: Kustiniyati Mochtar
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia

Membaca tulisan yang pertama kali terbit 62 tahun yang lalu tentang kehidupan seorang perempuan cukup memberikan kekecewaan karena semakin menegaskan ketidaksadaran turun-temurun yang merugikan perempuan dan parahnya, masih terus diwariskan. Masa kecil perempuan; penuh aturan serta hal-hal lain yang pantang dan harus, “Aku adalah seorang gadis yang harus sangat berhati-hati dalam melakukan setiap gerakan tubuh... saudara lelakiku bebas bermain, berlompat-lompatan, jungkir-balik sekehendaknya, sementara aku hanya boleh duduk dan tetap waspada jangan sampai gaunku tersingkap barang satu sentimeter pun ke atas paha. Bila itu sampai terjadi, ibuku akan memandang padaku dengan pandangan seekor binatang yang hendak melumpuhkan mangsanya, dan tentu saja aku lalu buru-buru akan menutupi bagian-bagian tubuhku yang sangat memalukan itu.” Bertubuh perempuan berarti ketidakberuntungan yang merampas singkatnya masa kecilmu, dan lalu seterusnya bertubuh perempuan merupakan kutukan yang memalukan; haid pertama muncul dengan perasaan jijik terhadap diri sendiri lalu seterusnya ketika ciri keperempuanannya tumbuh, ia memang diperebutkan, tetapi sebagai Tubuh, sebagai mangsa.


Tokoh Aku yang tumbuh dengan perasaan benci pada bau dapur karena tak ingin menghabiskan hidupnya mengupas bawang hanya agar suaminya bisa terus makan dan makan itu pada suatu hari menyaksikan betapa hormat ibu, bapak dan saudara lelakinya pada seorang dokter sehingga ia memutuskan untuk sekolah kedokteran. Baginya, dokter merupakan profesi terhormat. Ia ingin disetarakan, ia ingin membuktikan bahwa ia lebih pandai dari saudaranya, atau laki-laki lain yang selalu didewakan ibunya itu, “…aku harus lebih pandai dari laki-laki mana pun dan bahwa aku dapat melakukan setiap tindakan yang dikerjakan oleh ayahku, bahkan masih banyak lagi.” Yang ia rasakan hanya ketidakadilan, diperlakukan lebih rendah, maka yang ia ketahui hanya bagaimana menolak dan melawan, menjadi setara bahkan lebih.

Menjadi satu-satunya perempuan, mahasiswa lain memandangnya licik ketika ia harus memeriksa tubuh jenazah laki-laki yang telanjang bulat, hampir saja ia lari meninggalkan semua itu hingga dilihatnya mahasiswa lain mengerumuni tubuh seorang jenazah perempuan telanjang bulat dan memeriksanya tanpa malu-malu. Ia mulai dengan pisau bedah di tangannya, “Dan dalam keadaan demikian ini, lelaki itu kehilangan kekuatan dan kehebatan yang selama ini dikhayalkan orang di mataku. Seorang lelaki telah tumbang dari posisinya yang tinggi di singgasana dan tergeletak di sana tanpa daya, di atas meja bedah di samping seorang perempuan.” Berbagai pengalaman yang menumbuhkan kesadaran itu telah membuatnya memegang kepercayaan pada ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan merupakan dewa penyelamat atas kehidupannya yang selama ini penuh sesak pertanyaan akan identitas.

Di tengah sukses kariernya, seorang lelaki yang baru kehilangan ibu membanggakan kemampuannya sebagai seorang dokter, pernikahan lalu terjadi atas dasar rasa iba yang ia rasakan oleh naluri keibuannya. “Rupanya ia telah menarik kesimpulan bahwa pekerjaankulah yang telah memberi kekuatan padaku sehingga ia tak dapat menguasai diriku… aku tak dikejar oleh kebutuhan psikologis terhadap dirinya sebagaimana ia merasakannya terhadap diriku. Aku tak mempunyai perasaan seperti itu terhadap ibuku, ayahku atau siapa saja, karena aku memang tak bergantung pada siapapun. Sebaliknya ia sebelumnya sangat tergantung pada ibunya, kemudian mengganti kedudukan ibunya itu dengan diriku.” Ia mulai mempertanyakan seonggok daging yang disebutnya “suamiku” itu dan meninggalkannya. Betapa kecewanya ia terhadap orang-orang terhadap keputusannya; orang-orang yang padahal selama ini ia nasehati tentang bagaimana mereka harus makan, bagaimana mereka harus tidur, bagaimana mereka harus bernapas, singkatnya, bagaimana mereka harus hidup, dan mereka itu menyalahkannya seakan tersingkir kemampuan berpikir dan kecerdasannya ketika ia tidak mengenakan baju dokter yang putih itu.

Meninggalkan suaminya dan berfokus pada dunia kedokteran, ia semakin mendapatkan apa yang ia inginkan, kesuksesan, rasa hormat yang amat sangat, memohon memuji dan penuh ucapan terima kasih, ia memiliki segalanya namun ia justru tiba pada pertanyaan “mengapa mereka membuat diriku membuang-buang hidupku dalam konfrontasi seperti ini?”. Kelelahan, merasa hampa dan kesepian membuatnya mengharapkan bertemu lelaki idaman. Ilmu pengetahuan tak cukup menyelamatkannya. Pada sebuah perkacapan, lelaki idaman yang baru ia temui berkata “…bagaimanapun moleknya tubuh perempuan, ia tak benar-benar memiliki kewanitaan alami apabila ia bodoh, atau lemah…”. Bab terakhir dalam novel ini justru merupakan suatu gagasan yang sebenarnya tidak saya setujui di mana tokoh Aku jatuh cinta dan merasa spesial ketika seorang lelaki menganggapnya “perempuan yang berbeda” sementara menyalahkan perempuan lain yang ‘bodoh’ dan ‘lemah’ padahal hampir seisi novel menceritakan bagaimana konstruksi sosial lah yang membuat laki-laki menjadi arogan untuk mengusai kehidupan perempuan sehingga seorang perempuan sedari kecil pun tak memiliki cukup kesempatan untuk memiliki banyak pengalaman dibandingkan lelaki, untuk menjadi pandai, apalagi kuat.

Novel singkat sekitar 100 halaman yang lebih kecil dari potongan a5 ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia dan diterjemahkan oleh Kustiniyati Mochtar dengan bahasa yang mudah dipahami, maka selain mempelajari tentang relasi gender melalui teori, sastra perlu dibaca untuk melihat lebih luas dan memahami hal-hal yang terlewatkan pada penulisan lain. Kata “Kesetaraan Gender” memang sederhana dan agaknya mudah mendapat persetujuan, namun sudahkah kita sadar bahwa ketimpangan, perlakuan tidak adil dan penindasan berbasis gender tidak hanya terjadi pada pembagian kesempatan kerja atau nilai gaji, atau kekerasan seksual, sudahkah kita sadar bahwa ketidakadilan ini sebenarnya justru tumbuh subur dan kabur bahkan dari “institusi pertama”, keluarga. Bahwa penindasan tidak selalu lahir dari niat jahat, ia bisa lahir dari kasih sayang dengan cara saya sebut sebelumnya, “ketidaksadaran turun-menurun”. Akhir kata, semoga buku ini kamu baca.

1 komentar:

  1. hmm, menarik.. seperti merupakan kisah kebalikan dari realita yang sekarang. Mungkin akibat kontradiksi sekunder yang ada dalam kisah, telah bermutasi menjadi kontradiksi primer.

    salam membaca.

    BalasHapus