Selasa, 06 Desember 2016

Anak Ibu dan anak Ibu Pertiwi

ibuku yang manis dan mencintai anaknya yang bungsu
dua puluh tahun berlalu, di matanya aku masih seperti yang dulu

tidak, bukan gambaran tentang aku yang pernah mengores luka di hati ibu
meski luka itu tak kunjung sembuh
yang karena cinta dan hanya karena cinta
ibu lebih tenang menyimpan luka sendirian
berharap doa bisa menghapusnya
ibu tak suka aku tenggelam dalam ingatan
meski ingatan itu tentang rasa bersalahku padanya

ya, di matanya aku masih seperti yang dulu
gadis kecil yang lucu dan pemalu
manja dan penakut
tapi menawan hati
misalnya pada usia empat
aku mampu menghafal Pancasila dengan bahasaku sendiri
aku pernah membuat ibu tertawa

aku lupa kapan terakhir membuat ibu tertawa

ternyata Pancasila yang ibu kenalkan itu
entah menyebutnya kebetulan atau takdir
aku jatuh cinta padanya di usiaku yang semakin dewasa
aku menjadi sadar, aku bukan hanya anak ibu
tapi juga anak bangsa, anak Ibu Pertiwi

tentu ibu tak perlu khawatir
mencintai ibu dan mencintai bangsa bukan dua hal yang bertentangan
sama seperti aku yang sekaligus mencintai ayah,
anak jalanan, ibu guru, dan saudara-saudara kita di Palestina
tanpa cinta itu perlu kubagi sepersekian

tapi ternyata ibu mengkhawatirkan hal-hal lain
yang tak mampu ia jelaskan
karena tak sekolah tinggi
tapi selalu bangun pagi
demi mencari uang lebih dan lebih lagi
agar aku dan saudaraku bisa sekolah tinggi
sampai ia lupa menikmati kesenangnannya sendiri

ibu mengkhawatirkan hal-hal lain
yang tak mampu ia jelaskan
karena tak pandai berpolitik
tapi menonton televisi
melihat bagaimana orang-orang mati
penguasa silih berganti
juga nama-nama baru dengan pengkhianatan yang itu-itu lagi
ditambah memori masa lalu tentang negeri yang ngeri
anaknya yang suka melukai hati tetap terlalu suci untuk segala tragedi keji
ibu selalu melindungi
sampai ia lupa anaknya juga anak bangsa, anak Ibu Pertiwi

ketakutan yang wajar
tapi kubalas dengan kurangajar

ibu mengkhawatirkan hal-hal yang tak mampu ia jelaskan
sehingga kalah dengan kebenaran yang lebih mampu aku logikakan
ibu ketakutan dengan keberanianku yang dianggap kelewat batas
sehingga aku kecewa, sangat kecewa dan marah, sangat marah di dalam hati
kemarahan yang selalu aku sadari
sebagai kecerdasan yang menguasai tapi gagal berendah hati
aku marah, aku marah, aku kalah

ibuku yang penyabar dan anaknya yang kepala batu
betapa beruntungnya aku sementara ibu betapa merugi
yang karena cinta dan hanya karena cinta
ibu menangis lagi tak menerima ungkapan ini
karena ibu tak pernah menghitung untung rugi
yang ia tahu mencintai adalah kebahagiaan tersendiri

ibuku yang selalu penuh kasih dan anaknya yang masih anak bangsa, anak Ibu Pertiwi
aku ingin ibu tak khawatir lagi
hidup memang hanya perkara memilih bagaimana mati
ibu sendiri paling mengerti tentang kebahagiaan yang kekal abadi
ibu sendiri sekolah kasih, mengajarkanku untuk menjadi orang baik
sedangkan kebenaran aku cari sendiri di ruang yang semakin gelap ini
dan keberanian aku kumpulkan dari waktu yang terbuang bersama anak-anak di taman
yang ingin memiliki sepatu roda tapi mereka tak sekolah
sibuk menafkahi ibunya yang beranak lagi karena ayahnya tak peduli
sungguh, anak-anak yang tulang punggungnya masih terlalu kecil
tetapi ceria mendengarkanku membacakan dongeng-dongeng dari negeri bahagia
di satu hari anak-anak itu menghadiahkan aku sebuah pensil

ibuku yang aku cintai dan mencintai aku lebih lagi
ibuku yang belum mampu aku cintai dengan baik
ibuku yang sesungguhnya selalu kurindukan dan hadir dalam mimpi
ibuku yang aku ingin ia tak khawatir lagi 
karena dan sebenarnya hanya karena aku mencintai ibu
kekhawatirannya adalah kesedihan tersendiri

ibuku ibuku
aku harap tulisan ini mewakili segala sesuatu yang tak mampu kusampaikan
ibuku ibuku sayang
restui aku dalam perjalanan sunyi ini
bungkus aku dengan doa-doamu yang suci
aku tetap anak ibu yang pernah membuat ibu tertawa
pada usia empat menghafal Pancasila dengan bahasaku sendiri
tapi aku juga anak bangsa, anak Ibu Pertiwi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar