Minggu, 04 Desember 2016

REVIEW: Animal Farm

























Penulis: George Orwell
Penerjemah: Prof. Bakdi Soemanto
Penerbit: Bentang Pustaka

Bagi sebagian orang, politik adalah satu tema khusus yang sulit dimengerti, berat untuk mempelajarinya, penuh teori yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Animal Farm adalah sastra satire yang menjelaskan kenyataan dengan imajinasi, tatanan dan perubahan kehidupan masyarakat yang diumpakan seperti kehidupan binatang-binatang dalam peternakan. 

Penulis begitu cerdas membuat karakter-karakter tokoh binatang seperti (menelanjangi) manusia. Ada babi-babi cerdas yang bisa memimpin namun ada yang baik, ada yang jahat dan menyingkirkan yang baik. Beberapa tokoh kuda menggambarkan kelas masyarakat: ploretar, borjuis dan terpelajar. Ada keledeai cerdas, sinis, menyadari penindasan namun tak mau berbuat sesuatu, baginya yang penting hanyalah bisa berumur panjang. Ada para anjing yang setia pada babi seperti militer yang buta, hanya menjadi alat penguasa untuk menakuti. Ada domba yang bodoh dan menerima perintah apa saja, tak sadar dan menikmati menjadi korban. Ada ayam yang tertindas, dipaksa terus memproduksi dan diancam dengan berbagai tekanan jika menolak, seperti kaum petani. Bahkan ada tokoh babi yang seperti media: mengulangi kebohongan hingga dapat diterima oleh masyarakat sebagai suatu kebenaran. Masih ada banyak tokoh lain, semua penggambaran tokoh ditunjang dengan berbagai macam simbol dalam cerita, baik itu kejadian maupun benda-benda. 

Buku 140 halaman ini berkisah tentang pemberontakan para binatang sebuah peternakan karena babi tua yang bijaksana telah menyadarkan para binatang itu akan tirani manusia, namun setelah pemberontakan berhasil ternyata kemerdekaan tak seindah yang dicita-citakan, peternakan dipimpin oleh babi yang mabuk kekuasaan, para binatang tak memiliki kehidupan lebih baik pasca berhasilnya pemberontakan, namun terus dibodohi agar merasa peternakan pada masa itu sudah sebaik-baiknya untuk mereka dibanding harus dikuasai oleh manusia. Para binatang terus dimanfaatkan dalam ketidaksadarannya, terus dibodohi dan dibohongi agar tetap nyaman menjadi korban. Sementara para babi semakin lama semakin memiliki sifat seperti manusia, sifat manusia yang menjadi alasan pemberontakan di awal cerita, hingga pada akhir cerita para binatang tak lagi dapat membedakan antara babi dan manusia.

Pembaca akan kurang beruntung jika tak menebak-nebak setiap kata atau seluruh rangkaian cerita yang dapat ditafsirkan dengan begitu banyak makna karena Animal Farm tak hanya cerita imajinatif tentang binatang-binatang yang bisa berbicara saja. Animal Farm ditulis semasa Perang Dunia II, satire atas totaliterisme Uni Soviet namun karena satire dan dilihat dari kacamata imajinasi, cerita menjadi bebas tafsir, tak terikat dengan konteks Uni Soviet. Animal Farm berisi kritik sosial bukan hanya atas kekuasaan namun juga yang dikuasai. Sebuah karya yang lahir secara sadar atas keadaan zamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar